Tuesday, September 29, 2009

BamBu YanG LuRUskaH Atau YanG BeNGkoK...?

"Sekarang ini kita harus hidup dengan filosofi bambu. biar bisa tetap eksis! kau lihat bambu itu, kalo dia lurus-lurus maka bisa dijamin batang pohon bambu yang lurus itu tidak akan bertahan lama karena akan dipotong oleh manusia untuk keperluannya." kata seseorang kepada saya ketika saya silaturahim kerumahnya.

“Nah sekarang ini kita nggak perlu terlalu jujur dalam hidup. Contohi itu bambu, Kalo bambu-bambu yang batangnya bengkok-bengkok, dia akan tetap hidup karena tidak bakalan dipotong. Makanya dalam hidup ini, kita sesekali ‘bengkok’ sedikit juga ndak apa-apa (na kana orang mangkasara ka, kalasian). Itu demi kelangsungan hidup kita. apa lagi kalo kau berada dalam dunia birokrasi. ah... kalo kau mau jujur terus menerus, bisa tergilas kau oleh kejamnya dunia ini. Menjadi orang baik itu lebih sering ‘makan hati’ nya. bisa-bisa kita dimanfaatkan ato dibodoh-bodoki untuk kepentingan mereka. Berat memang tp di situ mi mungkin jalan menuju surga”. begitu tambahnya. *Dalam hati ku ini orang sarannya untuk mematahkan semangat kita untuk jadi orang baik, ato gimana?* Hehehehe...

Dari pesan diatas seolah-olah prinsip ini mengajarkan kepada kita yang hidup dijaman yang sudah sangat edan ini. Bahwa menjadi orang baik itu susah. Kalo mau tetap eksis didalam kehidupan bermasyarakat jangan selalu menjadi orang yang lurus, karena ketika kita mencoba untuk lurus dengan segala idealisme kita maka siap-siaplah untuk segera terdepak dalam pentas kehidupan bermasyrakat. Begitu mungkin kesimpulan pendeknya.


Saya sempat berpikir dan mengiyakan dalam hati penjelasannya itu. karena hal ini rasa-ranya terjadi di dunia ku. Seolah-olah hal yang baik itu sudah menjadi asing di tengah-tengan kita. Mungkin ini hanya contoh-contoh kecil, ketika ada teman yang belajar mengisi waktu kosong ketika di kampus, diketawai dan dibilangi terlalu ‘bureng’ lah, mau sarjana sendiri lah, nyantai moko, dll. Kata-kata yang sebernarnya menjatuhkan semangat orang yang ingin menjadi lebih baik.

Ato seperti kata teman saya diawal-awal semester dulu sesaat sebelum ujian. "edede jamma ko terlalu jujur kalo ujian sebentar. Pake nggak mo nyontek segala! sekarang itu, intinya bagaimana kita harus lulus mata kuliah ini. kita harus cepat selesai!!!". Dan hanya sedikit orang saja yang saya lihat bisa bertahan di ruangan yang tidak mau menyontek. Mereka mungkin terlihat aneh. Ato bahkan dibilang pelit lah, nggak mau bantu teman lah, sok idealis lah, dll. Waktu itu memang pengawasnya nggak ‘sangar’ bahkan terkesan membolehkan seolah-olah berkata, “nyontek me ko asal jangan bersuara” nanti ketahuan dokter” heh...?!!!



Sedikit berbagi tentang nyontek. Semua orang tau kalo nyontek itu dilarang. Tapi masih saja menjadi kebiasaan saat ujian dari sebagian besar kita. (pasti ada yg bilang, “kita? Lo aja kalle...!” Hehehe). Kita nyontek karena ndak yakin dengan jawaban sendiri, karena persiapan belajarnya memang sangat sedikit. Dan juga perasaan malu kita kepada yang maha mengawasi (ALLAH), masih harus kita benahi lagi. Makanya untuk menutupi kekurangan (terlalu kasar kalo sa tulis kebodohan hihihi...) kita, dengan berbuat curang, maka menyontek lah pilihannya. Malu kalo nilainya E, maunya terus dapat nilai A tp belajarnya g seperti orang yang benar2 dapat A dari hasil usahanya sendiri, bukan dengan jalan nyontek.

Berlaku jujur itu memang berat to? Contohnya nggak nyontek dalam ujian. Bukannya saya tidak pernah nyontek. Pernah kok T_T (pengakuan dosa neh). di saat banyak mi teman2 ku sudah selesai, tinggal segelintir orang saja dari angkatan ku yang belum selesai. Di saat itu rasanya saran tentang bambu itu sangat tepat untuk saya lakukan, ‘bengkok’ sedikit biar bisa eksis. Di saat bertemu dengan seorang senior yang baru bisa mendapatkan Sked.nya setelah 8 tahun dan dia berkata pada ku, “kau tau man, dulu saya orang yang idealis sekali dalam hal menyontek, tapi ah... mo mi diapa, mungkin kemampuannku yang kurang. Kalo sya ndak tanggalkan dulu idealisme itu mungkin sampe sekarang saya belum Sked”. Akhirnya... kulakukan juga, hikz....

Tapi kau tahu kawan, selalu saja ada rasa bersalah ketika telah melakukannya. Dalam hati selalu berpikir, kalo mau melakukannya kenapa ndak dari dulu saja sejak awal semester. Apa bedanya kalo akhirnya dilakukan juga, meski di saat-saat terakhir. Tetap saja sudah berbuat curang. Dan insya Allah tak mau ku ulangi lagi. Ah... saya jadi merinding juga, tiba2 saya menghubungkan ini dengan kisah 2 orang bersaudara yang satu di kenal alim dan satunya lagi dikenal ahli maksiat, tapi dua orang ini mengakhiri hidupnya dengan caranya masing2. Si ahli maksiat menjemput maut saat melakukan amalan penghuni surga sehingga Allah ridho padanya. Dan si ahli ibadah mengakhiri hidupnya saat dia terbujuk rayuan setan dan meninggal dalam keadaan maksiat dan Allah murka padanya. Naudzubillahi min dzalik. “jangan kau menganggap sebuah dosa itu kecil ato menganggap remeh sebuah amal kebaikan. Boleh jadi dosa yang kau anggap kecil itu bisa membuat terbit murkanya Allah kepada mu. Dan boleh jadi amal yang kecil saja bisa menurunkan ridho Allah kepada mu”. Ya... Allah Ampuni aku.... T_T

Ah.. kita kembali lagi ke filosofi bambu (terlalu lama ngebahas nyontek) ^_^...

“Tidak apa ketika kita sesekali melanggar peraturan asalkan tidak ketahuan demi keberlangsungan dan eksistensi kita. Tidak apa sesekali berbuat curang toh kalo kita tidak berbuat begitu kita juga akan dicurangi. Akan Tersingkir.” Begitu katanya.

Menurutku ada yang sedikit salah ketika teman saya ini memandang filosofi bambu ini. Mungkin bisa kita pandang dari sisi yang berbeda. Misalnya, memang benar bambu yang lurus itu akan banyak dipotong dan dimanfaatkan oleh manusia. Sedangkan bambu yang bengkok-bengkok akan dibiarkan hidup begitu saja. Nah bukankah hidup ini lebih berarti kalo bisa bermanfaat bagi orang lain? Bambu yang bengkok boleh itu jadi hidup lebih lama, tapi dia hanya akan menghasilkan banyak sampah, toh akhirnya akan mati juga kan.

Jadi menjadi baik itu boleh jadi memang berat (kebanyakan kata ‘jadi’nya). Tapi dunia ini akan membutuhkan orang-orang baik. Orang-orang yang menjalankan prinsip hidupnya, yang secara universal diterima semua orang. Misalnya tentang kejujuran, kepedulian, tolong menolong, dan sebagainya.

Sungguh menyedihkan jika kita menjadi seperti apa yang digambarkan Allah dalam surah al’araf ayat 179: “.....mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Kenapa Allah menganalogikan bahwa manusia yang hanya diam dan tidak memanfaatkan segala potensi yang ada dalam dirinya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya lebih rendah dari binatang ternak? Karena, perhatikanllah bahwa binatang ternak dengan segala keterbatasan yang ada padanya itu bisa memberikan manfaat kepada apa yang ada disekitarnya, ulat sutra menghasilkan benang sutra yang indah, lebah menghasilkan madu, sapi mengahasilkan susu dan daging, itik menghasilkan telur, cacing bisa menyuburkan tanah, lantas muncullah pertanyaan itu. Saya bisa memberikan apa....?

Menjadi baik itu mungkin susah dan berat, sebagaimana Anas bin Malik menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Akan tiba suatu masa pada manusia, dimana orang yang bersabar di antara mereka dalam memegang agamanya, ibarat orang yang menggenggam bara api.” (HR. at-Tirmidzi)

Dan dalam hadis lain Rasulullah bersabda,” Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana ia datang. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Sahabat bertanya,” Siapakah orang-orang asing itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,” Yaitu orang-orang yang tetap shalih ketika manusia telah rusak.”(Silsilah ash Shahihah 1273).

Nah, tetaplah berusaha untuk selalu memperbaiki diri walaupun itu terlihat asing di ‘dunia’ mu, berpegang teguh pada apa yang kita yakini. Menghidupkan sunnah Rosul dan menjalankan Perinta Allah azza wa jalla. Karena semua akan indah pada kesudahannya.

So mau menjadi bambu yang lurus ato bambu yang bengkok ^_^v

MeMbeKasLaH RaMaDHaN kU

Gemuruh takbir mulai membahana di seluruh pelosok negeri, seluruh semesta memuji, mengagungkan dan membesarkan asma Allah menyambut hari kemenangan. Hati-hati orang beriman ikut bergemuruh. Ada sedih yang membuncah akan perpisahan dengan bulan suci ramadhan. Dan ada senyum kebahagiaan menyambut datangnya hari kemenangan.

Ah... perpisahan itu memang selalu mensisahkan kesedihan, apalagi dengan sesuatu yang kita cintai. Rasanya pertemuan itu begitu singkat. Padahal belum banyak rasanya amal sholeh yang seharusnya kita lakasanakan. Akan kah semua ibadah yang kita lakukan selama bersamanya, di terima di sisi Allah swt? Akankah kita mendapatkan Ampunan dari Allah? akankah Allah masih berkenan kepada kita untuk mempertemukan kembali dengannya, ramadhan, di masa yang akan datang? Ya Allah, kami menyesal lantaran belum mampu mengoptimalkan Ramadhan dengan baik. Padahal di situlah letak rahmat, ampunan, dan pembebasan dari siksa neraka. Itulah kesedihannya.....