Monday, February 16, 2009
KeLuaRgA BarU
Bayi mungil itu lahir. Tangisnya terdengar nyaring. Seketika lenyap gelisah sang ayah yang menanti kelahirannya sejak tadi. Rasa sakit si ibu pun segera terobati seolah telah diberi analgesia paling ampuh sedunia.Titik air mata itu jatuh juga. Bukan karena sakit, tapi karena bahagia. Hari yang dinanti itu telah tiba. Penantian 9 bulan lebih. Penantian yang terobati setelah mendengar tangis bayi mungil itu. Selamat buat akh iswan dan istri yang baru saja mendapatkan buah hati tercintanya. 15 februari 2009 di rumah sakit Pertiwi Makassar.
Saturday, February 14, 2009
KeSenDiRiaN : ANtaRA MeMBunUH daN MenGHiduPKan
Perasaan sendiri terkadang tiba-tiba saja menghinggapi kita. Saat kesendirian bisa saja berarti secara fisik kita sendiri atau secara psikologi kita merasa tidak ada lagi yang perhatian sama kita atau merasa tak nyaman ditengah keramaian. Dan kadang kesendirian itu menjadi pilihan kita. Nah kensendirian yang menjadi pilihan inilah yang saya bilang mungkin saja bisa membunuh dan menghidupkan.
Kesendirian yang membunuh
Contoh kasusnya seperti ini Ada saat dimana saya ingin menjauh dari segala hiruk pikuk dunia ini, ingin berlari dari semua masalah yang seolah tak pernah bosan untuk berkunjung, ingin menghapus semua penat di jiwa. Merasa kecewa mendapati keadaan yang jauh dari harapan atau idealisme saya. Ingin lepas dari semua amanah dan beban yang terasa tak sanggup lagi untuk dipikul, sebenarnya bukan tidak sanggup lagi dipikul, tapi lebih pada perasaan kecewa bahwa kenapa beban itu terasa saya sendiri yang menanggungnya (padahal cuma perasaan ku ji!!!). Diam dalam kesendirian menjadi pilihan. Mencoba menghindar dan tidak mau lagi peduli, terkesan melarikan diri. Semuanya dilakukan agar bisa menenangkan diri. Atau memilih kesendirian agar berharap bisa memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Disaat-saat seperti inilah kesendirian itu bisa saja mulai ‘membunuh’ ku secara perlahan. Membunuh semangat ku, membunuh ghiroh dan segala apa yang membuat saya tetap menapaki jalan ini. Membuat langkah terhenti!!! Dan bahkan bisa saja langkah itu mulai menjauh dari koridornya dan akhirnya hilang entah kemana, naudzubillah…
Di saat seperti ini, di saat kita terhenti dan memilih untuk menyendiri. Kesendirian yang membunuh! Maka datanglah segala macam alasan ‘pembenaran’ itu. “sudah mi deh, capek ma”, “edede sudah saatnya saya memikirkan diriku”, “ah.. banyak ji orang nanti gantikan ka”, “kenapa cuma saya sendiri yang kerjakan ini, mana kah yang lain?”, dan sebagainya, kata-kata yang semakin melemahkan kita.
Perasaan seperti ini pernah saya rasakan bahkan sangat sering malah. Saat saya merasa telah melakukan banyak hal. Padahal sebenarnya kalo dipikir-pikir lagi, ah.. apalah semua yang sudah saya kerjakan. Tentu masih belum ada apa-apanya. Teringat kata seorang senior saya waktu SMA, “jangan sampai antum merasa ada dimana-mana, terlihat dimana-mana, Tapi dimana-mana antum tidak dianggap. Karena ada tidak nya antum sama saja, Cuma datang untuk menyetor diri. Tapi keberadaan antum tidak dirasakan manfaatnya”. Astagfirullah…..
Maka berhati-hatilah jika kesendirian seperti ini sedang menimpamu kawan. Jangan engkau menjauh dari saudaramu, menghindar dan akhirnya engkau terpisah dari mereka. Disaat-saat lemah seperti ini seharusnya engkau semakin dekat dengan mereka, semakin dekat dengan saudara-saudara mu, meminta taujih agar bisa keluar dari perasaan-perasaan seperti itu.
Rosullullah pernah mengumpamakan kepada kita bahwa Sesungguhnya syaitan itu serigala kepada manusia, sebagaimana serigala terhadap kambing. Dia akan dengan mudah menangkap mana-mana yang jauh dan terpencil. Maka janganlah kamu memencilkan diri dan hendaklah kamu berjamaah dan mencampuri orang ramai serta menghadiri masjid.
Salah satu obat hati itu adalah berkumpul dengan orang-orang sholeh karena dengan begitu kita dapat merasakan semangatnya, merasakan sinar kesholehan, merasakan aura perjuangan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Bahkan akan kau dapatkan itu hanya dengan menatap wajahnya…. !
Seperti waktu itu, sore yang diguyur hujan saat DS, perasaan malas pun menghinggapi dan ada langkah berat yang terayun karena benih-benih ketidak ikhlasan itu mulai menggerogoti. Tapi ketika melihat 2 orang ummahat yang menggendong anaknya sambil DS di tengah guyur hujan, dengan wajah yang terlihat lelah tapi ada keikhlasan disana, maka saat itu juga seakan aura itu mengalir ke tubuhku mengusir segala kemalasan itu.
Ketika perasaan kesendirian itu mulai melemahkan kita mungkin ibarat Seperti cahaya lilin yang mulai redup dan sebentar lagi akan mati, cobalah terus untuk menjaga cahaya itu. Awalnya mungkin akan susah, karena dia begitu rapuh digoyang angin kesana kemari. Hampir padam. Disitulah ujiannya kawan. Bagaimana kita menjaga agar cahaya itu tetap menyala mengusir gelap. Awalnya dia hanya bisa menyinari dirinya sendiri, lingkungan sekitarnya, kemudian sedikit demi sedikit terang menjadi seperti cahaya bulan tapi cahaya itu masih meminjam cahaya mentari. Berusahalah terus hingga cahaya itu seperti mentari yang semakin orang mendekat kepadamu semakin cahaya itu terang benderang. Dan akhirnya cahayamu itu bisa menghidupkan, menghidupkan cahaya-cahaya yang sama seperti mu dulu yang tadinya juga mulai meredup.
Intinya, Kesendirian yang membunuh adalah kesendiran yang dengannya kita semakin lemah dan akhirnya membuat kita terhenti, terhenti dari jalan mulia ini, jalan dakwah!
Wallahu’alam bishowab.
To be continue Kesendirian yang menghidupkan
Monday, February 2, 2009
AinUL MaRdiYyaH
Mungkin kisah ini sudah kita tau bersama dan sering kita dengar. Tapi insya Allah akan selalu menginspirasi.
Syekh Abul Laits As-Samarqondi menuturkan dari ayahnya dengan sanad dari Abdul Wahid bin Zaid, bahwa pada suatu hari, ketika kami sedang berada di majelis dan telah siap untuk pergi berjihad, serta aku telah memerintahkan kawan-kawanku untuk berangkat pada hari Senin, dan di tengah-tengah majelis itu ada seseorang yang membaca ayat yang artinya “Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At- Taubah: 111).
Tiba-tiba ada seorang pemuda yang berusia kurang lebih 15 tahun dan telah ditinggal syahid oleh ayahnya serta mempunyai warisan harta yang cukup banyak. Ia berkata, “Wahai Abdul Wahid, sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberi surga untuk mereka,” Aku berkata, “Benar, wahai sayangku.” la berkata kepadaku, “Wahai Abdul Wahid, aku persaksikan kepadamu, bahwa aku telah menjual diri dan hartaku untuk mendapatkan surga.” Aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya tikaman pedang itu sangat sakit sedangkan kamu masih sangat muda. Aku khawatir kamu tidak akan tabah dan manjadi lemah dalam berjual beli itu.” la berkata kepadaku, “Wahai Abdul Wahid, pantaskah jika aku berjual beli dengan Allah lalu aku menjadi lemah? Aku persaksikan kepadamu, bahwa aku benar-benar akan berjual beli dengan Allah.”
Syekh Abul Laits As-Samarqondi menuturkan dari ayahnya dengan sanad dari Abdul Wahid bin Zaid, bahwa pada suatu hari, ketika kami sedang berada di majelis dan telah siap untuk pergi berjihad, serta aku telah memerintahkan kawan-kawanku untuk berangkat pada hari Senin, dan di tengah-tengah majelis itu ada seseorang yang membaca ayat yang artinya “Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At- Taubah: 111).
Tiba-tiba ada seorang pemuda yang berusia kurang lebih 15 tahun dan telah ditinggal syahid oleh ayahnya serta mempunyai warisan harta yang cukup banyak. Ia berkata, “Wahai Abdul Wahid, sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberi surga untuk mereka,” Aku berkata, “Benar, wahai sayangku.” la berkata kepadaku, “Wahai Abdul Wahid, aku persaksikan kepadamu, bahwa aku telah menjual diri dan hartaku untuk mendapatkan surga.” Aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya tikaman pedang itu sangat sakit sedangkan kamu masih sangat muda. Aku khawatir kamu tidak akan tabah dan manjadi lemah dalam berjual beli itu.” la berkata kepadaku, “Wahai Abdul Wahid, pantaskah jika aku berjual beli dengan Allah lalu aku menjadi lemah? Aku persaksikan kepadamu, bahwa aku benar-benar akan berjual beli dengan Allah.”
Subscribe to:
Posts (Atom)